Pelecehan seksual marak terjadi belakangan ini. Dua siswi kelas XII, Y (18) dan N (18) menjadi korban pelecehan seksual di sebuah gang Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Keduanya dilecehkan oleh seorang pria berjaket ojek online (ojol).
Menurut pengakuan korban, pria berjaket ojol tersebut tiba tiba meraba payudaranya. Diberitakan sebelumnya, peristiwa itu menimpa N pada Senin (2/3/2020) sekira pukul 14.30 WIB. Kejadian yang sama menimpa Y pada Senin (9/3/2020) sekira pukul 06.30 WIB.
Jajaran Satreskrim PolrestroJakartaTimur kemudian mengamankan seorang pria terkait dua kasuspelecehanseksual tersebut. KapolrestroJakartaTimurKombes Arie Ardian Rishadi mengatakan pria yang masih diperiksa tersebut merupakan pemilik sepeda motor yang digunakan pelaku saat beraksi. "Kita sudah selidiki pemilik kendaraan bermotornya, sudah kita bawa untuk minta keterangan," kata Arie saat ditemui , Rabu (11/3/2020).
Adapun kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang siswi SMA di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dilansir dari , Kepala Sekolah di Dompu, NTB ditangkap polisi karena diduga melakukan tindakan asusila terhadap siswinya. Kejadian bermula saat pria berinisial SA tersebut meminta siswinya menemui dirinya di ruang kosong.
SA kemudian mengajaknya berfoto hingga akhirnya ia nekatmerangkul dan mencium korban. Saat itu korban berontak namun pelaku malah menarik paksa tubuhnya. Korban pun terus melawan hingga berhasil melepaskan diri.
Mengetahui kejadian yang dialami anaknya tersebut, orang tua korban langsung melaporkannya ke Polsek Dompu. Menanggapi maraknya kasus pelecehan seksual, aktivis perempuan sekaligus Co Director Hollaback! Jakarta, Anindya Restuviani,mengatakan kasus kekerasan seksual memang sangat banyak terjadi di Indonesia. Perempuan yang akrab disapa Vivi itu pun menyayangkan anggapan sebagian masyarakat terhadap kasus tersebut.
Menurut Vivi, beberapa jenis pelecehan seksual masih dianggap hal yang wajar bagi masyarakat. Bahkan, sebagian orang justru menyalahkan korban. "Karena itu, banyak kasus yang tidak terlaporkan atau tidak terdeteksi," lanjut Vivi.
Selain itu, Vivi menambahkan, penegakan hukum di Indonesia belum sepenuhnya bisa melindungi korban. "Selain itu, hukum yang dimiliki oleh Indonesia juga masih belum sepenuhnya berperspektif korban sehingga belum bisa melindungi korban sepenuhnya, malah sering kali merugikan korban," ujarnya. Menurut Vivi, terdapat sejumlah faktor yang membuat korban pelecehan seksual enggan melaporkan kejadian yang ia alami pada pihak berwajib.
Daribanyak faktor yang menjadi penyebabnya, satu di antaranya yaitu karena ketidaktahuan atau keraguan masyarakat mengenai jenis jenis kekerasan seksual. "Jadi kadang apa yang mereka alami adalah kekerasan seksual tapi mereka gak aware bahwa mereka telah menjadi korban," terang Vivi. Vivi menyebutkan, ketidaktahuan ini juga bisa berasal dari normalisasi masyarakat terhadap jenis jenis pelecehan.
"Jadi saat korban mau melapor malah dibilang 'yah itu kan sudah biasa seperti itu' , akhirnya mereka urung untuk melapor," kata dia. Faktor yang lainnya yaitu mengenai banyaknya penghakiman masyarakat yang justru cenderung menyalahkan korban. "Seperti mengomentari pakaian mereka, waktu kejadian, dan seterusnya," lanjut Vivi.
"Ini membuat korban merasa malu dan takut disalahkan jika mereka mau melapor," sambungnya. Selain itu, kurangnya sistem hukum yang melindungi korban juga menjadi faktor korban cenderung takut untuk melapor. "Karena kurangnya sistem hukum yang melindungi korban sehingga seringkali banyak korban yang merasa percuma jika melaporkan," tutur Vivi.
Menurut Vivi, sebagai korban pelecehan seksual, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah penyembuhan trauma yang mereka alami. "Mencari dukungan secara mental maupun hukum juga dapat dilakukan," tambah Vivi. "Tapi butuh peran sekitar mereka untuk dapat menjadi sistem dukungan yang baik untuk korban agar korban dapat melaporkan kekerasan yang mereka alami," sambungnya.